Senin, 22 Februari 2010

Malang Malam Kala Hujan

Malang malam kala hujan
adalah kepulan uap mi ayam dan bakso,
menghangatkan saat dingin menusuk tulang,
menenangkan pencernaan yang bergoncang,
menyajikan kelezatan dari koki kelas dunia.

Malang Malam kala Hujan
adalah ironi bagi anak-anak bertelanjang kaki,
mimpi bagi penjaja koran di persimpangan



Malang, 31 Januari 2010.

itu cinta

Itu Cinta

Sekotak cokelat,
Atau sekuntum mawar merah.
Pun demikian segala sesuatu
yang merah jambu.
Segala macam lagu
yang disebut lagu “cinta”
Segala rupa
gombal bujuk rayu.
Itu bukanlah cinta.

Menanti satu hari dalam
Satu tahun.
Seakan cinta hanya
Ada di hari itu.
Itu juga bukanlah cinta

Tiap tarikan
Dan hembusan nafas
Terang
Dan hangatnya
Mentari pagi
Bahkan
Dingin malam
Menghujam tulang

Itulah cinta sebenarnya

Cinta juga ada
pada senyum orang-orang
yang paling engkau sayang
pada bibir saudara-saudaramu
yang meluncurkan do’abagimu

pada tangan-tangan kecil
di perempatan
yang meminta bantuanmu,
pada rintih luka
para korban bencana,
juga pada tiap
pekik takbir mujahidin Palestina

Cinta juga hadir
Di kegelapan malam,
ketika wajah-wajah menundukkan
pandangnya
ketika hati sendu
merindu rahmatNya
ketika tiada suara yang terdengar
selain isak tangis
memohon ampunanNya

Di sanalah kau temukan cinta.

Memandang dengan Istimewa

Semula mata kita semua terpejam,
Ketika kita mulai menghirup udara dunia,
Kita menangis keras-keras.
Bersamaan dengan itu,
Mata kita membuka.
Perlahan-lahan cahaya terang menyilaukan pandangan.

Mungkin kita berpikir
“disini berbeda sekali dengan tempatku sebelumnya!”
kita semakin keras menangis.
di sekeliling kita,
Semua orang tertawa.
Tidak ada seorang pun yang berusaha membuat kita diam.
Lalu seorang wanita memeluk penuh kasih sayang
Membuat seluruh tubuh kita hangat dan perut terasa kenyang
Lelah menangis, kita tertidur
Semua kembali gelap.

Mata kita yang bulat
Senang sekali melihat semua yang bergerak berwarna-warni
Seperti mainan berputar yang dibelikan ibu
Semuanya baru bagi kita,
Kita mulai berpikir,
“Ternyata disini cukup menyenangkan juga.”

Kita juga mulai pandai bicara,
Menyebut kata
Ibu dengan buu..
Bapak dengan paa..
Makan dengan maem..
Tidak ada satupun ucapan buruk dan kasar
Meluncur keluar dari bibir kita.

Perlahan-lahan
Ibu dan bapak mengajarkan kita cara bergerak,
Mulai dari merangkak,
Berjalan,
Kemudian berlari.
Berkali-kali kita terjatuh
Tapi kita terus berusaha kembali.

Saat itu kita begitu merasa ingin tahu,
Kita menatap benda apapun dengan penasaran.
Kita mengamati gerak-gerik kucing tetangga,
Berlari mengejar kupu-kupu,
Bermain tanah hingga baju kita yang putih menjadi cokelat,
Dan memetik bunga-bunga di pinggir jalan.
Sesekali ibu marah,
karena kita sering tiba-tiba lari keluar rumah,
Sehingga ibu bingung mencari kita kemana-mana.
Kita mendapat banyak pengalaman pertama,
Kita belajar banyak hal.
Dan kita ingin belajar lebih banyak lagi.

Setelah agak besar,
Bapak membelikan sebuah sepeda kecil.
Pertama kali naik, kita pasti terjatuh.
Selanjutnya berkali-kali juga kita terjatuh.
Bapak berkata
“Ayo, kayuh yang kencang! Kamu tidak akan jatuh!”
Kita semakin bersemangat.
Akhirnya kita berhasil mengayuh tanpa jatuh
10 meter
50 meter
100 meter
dan tidak pernah jatuh lagi.
Seandainya waktu itu kita hanya menangis
Dan berhenti mengayuh,
Sampai hari inipun kita tidak akan bisa naik sepeda.

Semakin bertambah usia,
kita bukannya semakin baik.
Kata-kata yang kita pelajari,
Kita gunakan untuk mengumpat dan memaki.
Kaki yang dengan susah payah bisa berjalan,
Kita gunakan untuk melangkah ke tempat yang salah.
Mata yang dulunya penuh rasa ingin tahu,
Sekarang hanya bisa memandang dengan bosan,
Tidak ada lagi yang menarik bagi kita,
Kalaupun ada, mungkin bukan sesuatu yang baik.

Jika hari ini kita bisa kembali
Merasakan kenangan di masa kecil,
Mungkin kita bisa
Memandang dengan istimewa.

-Malang, 21 Februari 2010-

Rabu, 17 Februari 2010

Nguuung.. nguung.. bzzzt...




Beberapa minggu yang lalu rumah kami kedatangan anggota baru. Bukan cuma satu, tapi segerombolan yang jumlahnya mungkin mencapai ratusan... Apa rumah kami bakal penuh? tentu tidak... (bacanya dengan intonasi kaya iklan obat cacing). Karena angggota baru rumah kami ini adalah kawanan lebah madu yang mencoba membuat sarang di kayu penyangga atap. Bapak bilang,"Memang, Allah kasih rezeki itu dari arah yang tak disangka-sangka." Segera Bapak bertanya pada muridnya di sekolah yang kebetulan punya bisnis peternakan lebah. (hahaha kalo berhasil siapa tahu keluarga kami jadi punya bisnis madu)

Hemm... Lebah sebenarnya punya posisi istimewa di hati orang-orang beriman. apa pasal? karena Rasulullah mengumpamakan mukmin sebagai lebah.

Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya) .” (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)


Lebah itu memakan nektar bunga yang bersih, dan yang dihasilkannya adalah madu yang bersih bahkan berkhasiat mengobati penyakit. ini seperti sifat orang mukmin yang hanya mau makan makanan yang halal saja. Lebah juga hinggap di bunga dengan lembut.. tidak merusak bunga sedikitpun.. seperti sifat mukmin yang lemah lembut.

Kelebihan lain Lebah adalah hidup dengan kerjasama, satu ekor lebah mungkin tidak berarti apa-apa, tetapi ribuan ekor lebah bekerja sama dengan organisasi yang kompleks untuk membangun sebuah sarang bersama yang nyaman dengan segala sistemnya.

satu lagi sifat istimewa lebah adalah dia akan mati setelah menyengat. hal ini menggambarkan sifat yang cinta damai, tetapi akan berubah heroik jika ia diganggu...

Yuk, kita juga belajar dari Lebah, binatang yang diberi Allah wahyu...

The Real Leader

Saya jelas tidak punya kapasitas untuk berkomentar tentang hal ini. Siapa sih saya? Mahasiswa yang baru duduk di semester tiga, pengalaman organisasi juga masih seumur pohon kencur (kencur kan bukan pohon =p). Tetapi belakangan ini, saya jadi sering memikirkan, sebenarnya gimana sih the Real Leader itu. Pemicunya tak lain dan tak bukan adalah Drama Korea yang diputar tiap senin sampai jumat jam 5 sore di Indosiar, The Great Queen Seondeok (ada orang lain yang nonton juga kan?).

Singkat kata, di film ini ada 2 kubu. Kubu protagonis yang dikomandani Putri Deokman dan Kubu antagonis yang digawangi Lady Mi Shil. Keduanya adalah wanita super cerdas dan ahli strategi yang luar biasa. Lantas apa yang membuat mereka berbeda? Lady Mi Shil punya kekuasaan atas para menteri yang merupakan kaum bangsawan, dia bisa mengendalikan mereka seenak perutnya. Meski para bangsawan ini mau menuruti apa saja kata Mi shil, mereka jelas punya motif pribadi yakni ambisi kekuasaan yang lebih besar. Walhasil, kekuasaan Raja sebagai kepala pemerintahan dirongrong habis-habisan. Pada saat inilah sang tuan putri muncul. Dengan orang-orang kepercayaannya yang jumlahnya sedikit dan belum punya posisi di pemerintahan, dia mencoba membebaskan rakyat yang juga tertindas dan tertipu oleh kaum bangsawan. Itulah aristokrasi yang feodal.

Nah, dari sini saya berpikir, Who’s the real leader here? Lady Mi Shil yang bisa menggerakkan banyak orang untuk menuruti keinginannya, ataukah Putri Deokman yang pengikutnya sedikit namun semuanya bekerja untuk sebuah visi yang sama?

Saya memilih opsi kedua. Dalam pandangan saya, seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu menggerakkan hati para pengikutnya untuk sebuah visi yang sama. Boleh jadi ada seseorang yang selalu dipatuhi kehendaknya, tetapi mereka patuh karena ada maksud yang tersembunyi, menurut saya ini hanyalah kepemimpinan yang semu. Akan ada saatnya kepemimpinan semu seperti ini akan runtuh. Boleh jadi untuk mencapai sebuah visi itu akan terjadi pro-kontra, namun karena tujuannya sama, jadi tidak masalah.

Dalam mencapai visi tersebut tentu harus ada patokan apa yang benar dan apa yang salah. Jalan mana yang boleh ditempuh dan jalan mana yang tidak. Sebagai seorang muslim, jelas patokan mutlak itu adalah Qur’an dan Hadist. Ini adalah harga yang tidak bisa ditawar-tawar.

Tayangan bergizi dari negeri Ginseng

Rupanya “penyakit” yang saya derita beberapa bulan ini masih belum sembuh juga. Sejak serial The Great Queen Seondeok tayang di Indosiar, saya memang menderita “Korean Drama Fever”. Setelah serial sepanjang 62 episode ini tamat, demam ini pun belum waras. Kali ini penyebabnya adalah drama roman Brilliant Legacy.

Sepintas Brilliant Legacy a.k.a Shining Inheritance tampak tidak terlalu istimewa, ide ceritanya nyaris seperti cinderella jaman modern. Setelah saya telateni nonton episode demi episode bukan love storynya yang jadi perhatian saya, tetapi banyak juga hikmah yang bisa saya ambil.

Tokoh utama Eun-Sung punya karakterisasi yang kuat, sifatnya tegar menghadapi cobaan layaknya tokoh-tokoh protagonis lain, tapi bukan berarti dia lantas hanya diam dan menangis tersedu-sedu menghadapi setiap kemalangan yang menimpanya. Karakter ini membuat saya belajar tentang “kesabaran yang manusiawi”. Manusia adalah makhluk yang mengenal rasa maaf, tetapi ketika ia didzalimi dan dirampas haknya, maka kewajibannya untuk memperjuangkan hak tersebut.

Tokoh Woo-Hwan, si lawan main, juga punya karakter yang tidak kalah menarik. Sebagai calon pewaris perusahaan makanan Jin Sung Food yang tidak pernah kenal hidup susah sejak kecil, rasanya sangat tidak aneh kalau dia menjadi pribadi yang semau gue. Awalnya tokoh ini memang amat sangat menyebalkan dan tidak tahu sopan santun. Dia bahkan tidak dapat mengucapkan kata maaf. Keputusan Sang Nenek membuatnya harus bekerja keras banting tulang meskipun dia kaya raya. Ketika Ia mengetahui alasan neneknya mengambil keputusan sulit tersebut, hatinya tersentuh. Perlahan-lahan ia berubah menjadi seseorang yang lembut. Sekeras apapun hati manusia, ia dapat menjadi lembut jika ia memang menginginkannya.

Nah, yang terakhir namun justru tokoh terpenting menurut saya adalah Nenek Jang atau ibu Soon-Woo. Seorang wanita yang sukses dengan bisnis sup sapinya dan membangun perusahaan Jin Sung Food. Dari luar, beliau adalah pribadi yang keras dan sering membuat keputusan tidak terduga. Tetapi sebenarnya sifatnya hangat dan penuh perhatian. Para karyawan Jin Sung Food sangat menghormati dan menyayanginya. Nenek Jang inilah yang membuat kedua cucunya Woo-Hwan dan Woo Jung, serta menantunya Young Ran harus bekerja keras, tidak hanya menengadahkan tangan meminta uang kepadanya. Keputusan itu membuatnya dibenci oleh anggota keluarganya. Bagaikan dokter yang membuat pasien terpaksa menelan pil pahit, keputusan itu kelak akan menyembuhkan sifat buruk Woo-Hwan.

Serial ini jelas berbeda jauh dari serial pendahulunya The Great Queen Seondeok yang penuh intrik dan menguras otak. Dari Queen Seondeok saya belajar banyak hal, mulai dari politik, leadership, loyalitas, strategi, sejarah korea, hingga kriminalisasi untuk menjatuhkan penguasa. Sedangkan dari Brilliant Legacy saya tahu tentang kesabaran, kekayaan hati, kerja keras, serta kepahitan hidup.

Inilah beberapa tontonan yang saya anggap bergizi dari negeri ginseng Korea. Selain dua serial yang saya sebutkan di atas, ada satu serial lawas yang tetap menginspirasi saya hingga saat ini. Bahkan, bisa dibilang keputusan saya masuk farmasi dan menjadikan Botani Farmasi sebagai mata kuliah favorit saya sedikit banyak karena terinspirasi tokoh utama serial ini. Dae Jang Geum, alias Jewel in the Palace adalah judul drama klasik yang saya maksud.

Tontonan memang hanya sebatas tontonan, jangan sampai dijadikan tuntunan. Tetapi alangkah baiknya jika kita bisa mengambil pelajaran dari tontonan bergizi tersebut. Agar hati dan pikiran kita juga menjadi kaya akan pengalaman.