Jumat, 26 November 2010

Ayahku Pahlawan Sederhana

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis.

Kalimat ini tersurat di bagian pendahuluan buku karya Anis Matta yang berjudul Mencari Pahlawan Indonesia. Memang selama ini terlanjur tertanam dalam benak kita, image pahlawan bagaikan superhero di film-film. Punya kekuatan luar biasa dibanding orang-orang biasa dan ketika tugasnya berakhir, orang-orang hanya akan terpana menyaksikannya pergi. Bukanlah seperti itu pahlawan-pahlawan yang dibutuhkan bangsa ini. Pahlawan-pahlawan Indonesia sejati mungkin tak pernah tercatat namanya dalam sejarah, tak dikenal orang. Namun setiap pekerjaan besar yang mereka lakukan senantiasa terlukis dengan tinta emas peradaban. Sebaliknya yang seringkali kita kenal adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan kecil dan beromongbesar dalam autobiografi yang mereka tulis sendiri.

Pahlawan-pahlawan besar mungkin ada di sekitar kita meski kita tak pernah menyadarinya. Bagi saya pribadi, sosok Ayah adalah seorang pahlawan besar dalam hidup saya. Terlepas dari segala kekurangannya, beliau adalah seseorang yang harus saya teladani. Mulanya, beliau hanyalah seorang anak desa yang bercita-cita menempuh pendidikan tinggi. Meski awalnya niat Ayah ditentang oleh kakek, ayah tetap bersikukuh. Belakangan ayah menyadari bahwa kakek sebenarnya sedang menguji niat ayah, dan beliau lulus. Akhirnya, ayah berhasil merantau seorang diri ke kota Malang dan menyelesaikan pendidikan sarjananya serta diangkat menjadi seorang guru sekolah dasar. Dalam menjalankan profesinya, ayah adalah seorang pekerja keras dan berdedikasi. Seringkali pada hari liburpun ayah tetap pergi ke sekolah untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Ayah memang bukan seorang guru agama, namun beliau senantiasa mengingatkan siswa-siswinya untuk menjalankan perintah Allah.

Seorang pahlawan pasti memiliki naluri kepahlawanan. Sebuah naluri untuk maju dan menghadapi tantangan di depan. Pahlawan tidak akan merasa senang berdiam diri di ruang yang nyaman, karena hal itu tak dapat membuat mereka maju. Pahlawan tak mencari ganti materi, karena ganti dari Allah adalah janji yang lebih baik dan tak akan diingkari. Gaji seorang guru jelas tak dapat dibandingkan dengan tanggungjawabnya mendidik anak-anak bangsa yang kelak akan jadi pemimpin negeri ini. Yang membuat perjuangan ayah tak berhenti hanyalah harapan agar murid-muridnya bisa lebih baik dan lebih maju dibandingkan dengan dirinya.

Ayahku yang sederhana, namanya jelas tak dikenal dalam sejarah negeri ini. Namun bagiku, beliau adalah satu dari banyak pahlawan Indonesia. Orang kecil yang melakukan pekerjaan besar. (rad)

Jumat, 12 November 2010

Totto-Chan dan Anak-Anak Indonesia


Akhirnya... Setelah bosan dengan segunung diktat kuliah selama ujian bisa kembali lagi membaca buku-buku "normal". Yap, kali ini saya ingin bercerita tentang sebuah buku klasik yang sangat menginspirasi. mungkin sebagian dari teman-teman telah kenal gadis cilik bernama Totto-chan.



Totto-chan yang ceria sering dianggap sebagai anak nakal di sekolah dasar Jepang yang konservatif. Guru kelasnya sering menghukum dia gara-gara kenakalannya. Dia dikeluarkan dari sekolah ketika duduk di kelas 1 SD. ibu Totto-chan yang bijaksana kemudian memindahkan Totto-chan ke sebuah sekolah unik bernama Tomoe Gakuen. Kelas-kelas di Tomoe adalah gerbong-gerbong kereta api. Tidak ada jadwal pelajaran karena semua murid berhak memilih apa yang ingin mereka pelajari, semua murid aktif bertanya dan berkonsultasi dengan guru jika ada yang tidak mereka pahami. Dan yang paling seru, tentu saja adalah Pelajaran JALAN-JALAN! Setelah pagi hari para murid belajar banyak hal di ruang kelas, sore hari para guru akan mengajak berjalan-jalan di sekitar sekolah. dalam perjalanan mereka mengamati patung di Kuil, proses penyerbukan pada tanaman sawi, dan banyak hal lain. tanpa sadar mereka telah belajar Biologi, sejarah, dan pelajaran lain. Orang di balik pendobrakan sistem pendidikan konvensional ini adalah kepala sekolah Tomoe, Sosaku Kobayashi. Kisah masa kecil Tetsuko Kuroyonagi ini memang ditulis secara khusus untuk mengenang beliau, pria optimis dan ramah yang sangat mencintai anak-anak.



Kisah-kisah Totto-Chan kecil bertutur dari sudut pandang anak-anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Saya sendiri sangat terbawa pada alur cerita pendeknya yang sederhana namun begitu dalam (beberapa kali saya mengalami kebocoran kelenjar air mata =). Yang lebih membuat saya kagum adalah: buku ini ditulis tahun 1981! dan sekolah Tomoe didirikan pada jaman perang dunia kedua tahun 1937. 73 tahun yang lalu sudah ada orang Jepang yang berpikir tentang pendidikan terbaik untuk anak-anak, ironisnya saat ini banyak anak-anak Indonesia tidak belajar dengan keceriaan. Pada usia dimana mereka seharusnya diberi pemahaman tentang agama, lingkungan sekitar, cara bersosialisasi, membangun kepercayaan diri dan rasa ingin tahu serta pengetahuan-pengetahuan dasar dalam kehidupan justru dijejali dengan setumpuk lembar kerja siswa (LKS) yang --menurut saya-- sebenarnya tidak terlalu esensial. Mereka dipaksa belajar tanpa mereka tahu apa manfaatnya. Lebih buruk lagi, ada juga orangtua yang memaksa anak-anaknya belajar agar meraih peringkat kelas. Menurut saya, ini pembunuhan karakter anak-anak.(saya kelak tak jadi orangtua yang seperti itu =) *kok jadi curhat*



Pendek kata, kalau disuruh memberi skor untuk buku ini, saya beri 4 dari 5 poin.

Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela

Tetsuko Kuroyanagi