Rabu, 16 Maret 2011

(Semoga) Kampus Kebanggaanku Tetap Pro-Rakyat


Sudah dua setengah tahun saya menjalani kehidupan kuliah yang penuh warna di kampus ini. Saya masih ingat wajah bahagia Bapak saat melihat pengumuman yang menyatakan bahwa saya diterima di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga lewat jalur PMDK Prestasi. Tak henti-hentinya ucapan syukur terlontar dari bibirnya dan itu terus berlanjut hingga saat ini. Selama dua setengah tahun itu pula saya beserta orangtua selalu bertutur kepada orang-orang di sekitar kami bahwa kampus ini adalah kampus yang peduli terhadap pendidikan berkualitas untuk rakyat kecil.

Ketika itu kawan-kawan saya yang diterima di universitas lain banyak mengeluhkan mahalnya biaya masuk serta biaya pendidikan tiap semester. Saya hanya tersenyum sambil menceritakan betapa murahnya biaya pendidikan di Unair. Bayangkan saja, ketika salah seorang kawan saya harus membayar puluhan juta di awal untuk bisa masuk ke sebuah fakultas kedokteran suatu universitas negeri (padahal ia diterima lewat jalur SNMPTN), saya hanya perlu membayar IKOMA sebesar lima juta dan dapat diangsur hingga lima kali selama satu tahun. Dalam hati, saya amat bersyukur karena dengan cara ini Allah berkehendak memudahkan keluarga kami, mengingat gaji bapak dan ibu sebagai guru tidak terlalu besar dan memiliki tanggungan tiga orang anak.
Sekarang universitas yang selalu saya banggakan ini berkehendak untuk menaikkan biaya pendidikan hingga 80% dari semula. Awalnya, saya tidak ikut ambil pusing, “ yang penting (SPP) saya gak ikutan naik,” gumam saya dalam hati. Hingga suatu ketika saya melihat sebuah tulisan yang memuat ucapan salah seorang pejabat Unair: “ Kalau tidak bisa bayar SP3 ya tidak apa-apa, tidak usah kuliah di Unair.”

Kepada beliau yang berkata demikian, saya ingin bertanya:

Wahai Bapak/Ibu Pejabat, Mengapakah jika kami tak punya segepok uang di kantong, kami tidak boleh kuliah disini? Apakah kuliah di kampus ternama hanya hak mereka yang berduit? Apakah ilmu hanya boleh dipelajari oleh orang yang punya uang?
Wahai Bapak/Ibu Pejabat yang tega berucap seperti itu, sadarkah Anda telah sukses melukai hati orang-orang kecil yang berharap dapat memutus rantai kemiskinan anak-turunnya lewat pendidikan?
Mungkin bagi Anda uang sepuluh atau lima belas juta bukanlah jumlah yang besar, namun bagi bapak-bapak kami yang hanya pegawai kecil, itu senilai dengan gajinya berbulan-bulan.
Wahai Bapak/Ibu Pejabat, kapankah kiranya bangsa ini maju bila pendidikan dikomersilkan?
Wahai Bapak/Ibu Pejabat, Apakah jaminannya bahwa uang yang membuat kantong-kantong bapak kami kempes itu akan kembali kepada kami dalam bentuk fasilitas yang lebih baik dan dikelola dengan kejujuran?
Wahai Bapak/Ibu Pejabat, dengan uang sedemikian besar yang kami setorkan, apakah kami akan keluar dari kampus ini menjadi seseorang yang lebih baik? Atau akhirnya kami malah melupakan tujuan utama kami belajar di sini dan sibuk mengejar balik modal yang kami setorkan di awal?
Wahai Bapak/Ibu Pejabat, janganlah pertanyaan ini ditanggapi dengan panas hati. Bukankah guru-guru kami disini mendidik kami untuk menjadi seseorang yang kritis?


Tidak ada sedikitpun maksud dalam diri saya untuk melecehkan kampus ini, segala yang saya tuliskan di atas adalah sebentuk rasa bangga yang ingin saya pertahankan kepada almamater tercinta, Universitas Airlangga. (rad)